Selama hampir dua dekade, Dewan Keamanan PBB sering menjadi lumpuh karena kengototan Rusia terkait krisis Suriah, namun kini di tengah pandemi global , persaingan t dan yang mempengaruhi berbagai isu di PBB.
Hingga 2017, dalam tiga kesempatan, sikap saling mengerti antara Washington dan Beijing membuat PBB bisa menyatukan dunia dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara.
Tiga tahun kemudian, pandemi Covid-19 atau pandemi corona menyebabkan persaingan keras antara dua negara penyumbang terbesar ini.
Bahkan setelah hampir dua bulan berunding, 15 negara anggota Dewan Keamanan tidak bisa mencapai kesepakatan atas resolusi tentang gencatan senjata global ketika dunia sedang memerangi virus corona yang diusulkan Sekjen PBB.
Satu-satunya alasan adalah perbedaan pendapat antara AS dan China tentang rujukan ke WHO dalam resolusi itu. Organisasi kesehatan dunia itu sedang bertikai dengan Donald Trump yang memutuskan untuk keluar dari organisasi itu pada Jumat (29/6).
Baik pejabat dan diplomat PBB mengatakan konflik AS-China ini tampaknya semakin menyebar ke isu lain, sehingga mereka pun pesimistik.
"Membawa pertikaian bilateral ke dalam Dewan Keamanan adalah satu bencana," tambahnya.
Seorang duta besar lain mengatakan: "Kita tidak boleh memasuki Perang Dingin baru. Tetapi saat ini situasinya tidak begitu bagus," terkait kepemimpinan, pandemi atau hubungan AS-China, tiga isu yang "sangat terkait satu sama lain."
PBB sendiri merasa akan terbawa ke wilayah baru yang tak beraturan.
"Di masa lalu,perbedaan pendapat di antara anggota Dewan Keamanan bisa dikotakkan," kata seorang pejabat PBB yang juga tidak mau disebutkan namanya. "Sehingga musuh di satu isu bisa menjadi sekutu di isu lain. Sekarang yang terjadi adalah semua saling terkait.
Pejabat ini merujuk pada situasi Hong Kong terkait undang-undang keamanan baru China yang membuat AS dan China semakin bersitegang.
"Ketegangan antara AS dan China menjadi masalah" bagi PBB, artinya Dewan Keamanan "tidak bisa mengambil keputusan untuk berbagai isu," kata pejabat PBB ini.
Sejumlah duta besar untuk PBB pun menyetujui pandangan itu.
"Ada cacat besar dalam arsitektur multilateral global saat ini. Dan ini sangat serius," ujar Olof Skoog, duta besar Uni Eropa untuk PBB.
"Kita menyaksikan polarisasi di Dewan Keamanan," kata Duta Besar Christoph Heusgen dari Jerman yang saat ini merupakan anggota tidak permanen Dewan Keamanan.
Dalam jumpa pers pada Kamis (28/5), Sekjen PBB Antonio Guterres mengemukakan penyesalan pandemi ini tidak memunculkan rasa kemanusiaan di negara-negara adidaya.
"Jika krisis sekarang memunculkan sesuatu, itu adalah kerapuhan. Kerapuhan kolektif. Ketika kita rapuh, kita harus rendah hati. Ketika kita rendah hati, kita harus bersatu dan memiliki solidaritas," ujarnya dalam pernyataan yang ditujukan kepada anggota Dewan Keamanan.
Dia kemudian mengemukakan pandangannya bahwa AS dan China yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan benar-benar memanfaatkan hak veto yang menekankan pengaruh kedua negara itu.
"Saya tidak pernah melihat tugas Dewan Keamanan dilumpuhkan oleh anggota-anggota (permanen) seperti sekarang," ujarnya.
0 comments:
Post a Comment